Fenomena Perdagangan Perempuan

Nasional / 25 August 2007

Kalangan Sendiri

Fenomena Perdagangan Perempuan

Puji Astuti Official Writer
8968
 JAWABAN.com - Perdagangan orang atau trafiking adalah sebuah fenomena yang marak kita temui di negara-negara berkembang. Indonesia adalah salah satu contoh negara berkembang yang memiliki kasus perdagangan orang yang tinggi. Sebelum tahun 2000, dalam wacana internasional, Indonesia digolongkan sebagai negara asal perdagangan orang. Perempuan dan laki-laki dewasa, anak laki-laki dan perempuan, diperdagangkan dari Indonesia melalui perbatasan wilayahnya ke negara- negara lain.

Sulit untuk memperkirakan besarnya permasalahan perdagangan orang di Indonesia. Bukan hanya sifat dasarnya yang terselubung, tetapi juga karena ketidakseragaman dalam metode pengumpulan data. Bareskrim Mabes Polri mencatat 30 kasus perdagangan orang pada tahun 2005, menurun dibandingkan dengan 179 kasus pada 2001. Sebuah kompilasi oleh ACILS/ICMC selama tahun 2005 mengidentifikasikan sedikitnya 130 kasus perdagangan orang dan 715 orang yang dilaporkan telah diperdagangkan. Angka-angka tersebut berbeda jauh dari angka-angka yang diberikan oleh Bareskrim Mabes Polri.

Sumber ketiga adalah database yang dibuat oleh International Organization for Migration (IOM) berdasarkan pemulihan dan pemulangan orang-orang yang selamat dari perdagangan orang. Antara Maret 2005 dan Juli 2006, IOM membantu memulangkan 1.231 survivor dari perdagangan orang.

Sebelum buku ini terbit, telah diterbitkan juga oleh ACILS dan ICMC pada 2003 sebuah buku berjudul Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Buku Ketika Mereka Dijual: Perdagangan Perempuan dan Anak di 15 Propinsi di Indonesia adalah sebuah pelengkap bagi buku sebelumnya.

Perkembangan Situasi

Buku ini mengajak pembaca mengikuti perkembangan situasi perdagangan orang di Indonesia tahun 2004 hingga 2006. Buku ini tidak akan membahas secara rinci bentuk-bentuk perdagangan orang di Indonesia dan faktor-faktor penyebabnya. Hal ini telah dibahas dalam buku sebelumnya.

Kita diajak untuk melihat gambaran keadaan dan pola perdagangan manusia secara lebih jelas, khususnya di tingkat lokal. Fokus buku ini adalah sistem pengiriman tenaga kerja karena dianggap menjadi penyebab terjadinya praktik jeratan hutang dan trafiking buruh migran. Ada beberapa tujuan perdagangan orang, antara lain: pekerja rumah tangga di Indonesia dan luar negeri, pelacuran di dalam dan luar negeri, "pengantin pesanan", pekerja di tempat konstruksi dan perkebunan, penjualan bayi, lingkaran pengemis terorganisasi, dan kawin kontrak.

Berdasarkan penjajagan yang dilakukan di lapangan, ditemukan bahwa semua propinsi di Indonesia menjadi wilayah asal sekaligus daerah tujuan perdagangan orang. Namun, buku ini hanya akan memfokuskan laporan trafiking pada 15 propinsi saja yaitu Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Papua/Irian Jaya Barat.

Bentuk perdagangan orang yang ditemui di satu propinsi berbeda dengan propinsi yang lain. Sebagai contoh di Sumatera Utara perdagangan perempuan dan anak perempuan bertujuan untuk menjadikan mereka pekerja rumah tangga ke luar negeri (Malaysia) dan sebagai prostitusi ke dalam negeri (Propinsi Sumut, Kepulauan Riau, dan Riau) dan luar negeri (Malaysia).

Berbeda dengan Sumatera Utara, Bali ternyata adalah daerah pengirim dan tujuan untuk trafiking. Industri seks yang hadir di Bali mendorong terjadinya trafiking perempuan dan anak perempuan ke Bali, khususnya mereka yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Di sisi lain, karena Bali juga merupakan daerah tujuan wisata terkenal bagi turis dari Jepang maka di Jepang pun muncul permintaan akan penari Bali. Anak-anak dari kabupaten miskin di Bali seperti Karang Asem dijual oleh agen untuk memenuhi permintaan layanan seksual dengan anak-anak dengan kedok sebagai duta kesenian.

Buku ini juga membahas soal jeratan hutang yang semakin melanggengkan trafiking. Jeratan hutang yang dialami oleh mereka yang diperdagangkan antara lain karena adanya hutang keluarga sebelum migrasi, hutang yang tercipta dari proses migrasi, dan hutang yang muncul di tempat kerja. Jeratan hutang ini kemudian mengarah pada suatu situasi yang berujung pada paksaan, pengaruh, atau kekuasaan. Mereka yang terjerat hutang menjadikan diri mereka sendiri sebagai jaminan hutang sehingga mau tidak mau harus terus bekerja. Selain itu ruang gerak mereka dibatasi sampai hutang mereka benar-benar lunas.

Judul Buku : Ketika Mereka Dijual: Perdagangan Perempuan dan Anak di 15 Propinsi di Indonesia
Penulis : Abhijt Dasgupta, Anis Hamim, dkk.
Penerbit : International Catholic Migration Commission (ICMC) Indonesia dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS)
Cetakan: November, 2006
Tebal : 468 halaman
(nat) Sumber : Marijke JB, STT Jakarta - suarapembaruan.com
Halaman :
1

Ikuti Kami